Tuesday, October 6, 2009

Dari Kata Allah Hingga Lam Yalid Wa Lam Yulad

Dari Kata Allah Hingga Lam Yalid Wa Lam Yulad PDF Print E-mail
Monday, 27 August 2007
ImageBeberapa hari lalu (th.2004), seorang teman dari komunitas jurnalis Kristen meminta saya untuk turut dalam perdebatan soal nama Allah. Terus terang, saya malas. Mengapa? Karena saya sangat mengenal "kaum penentang Allah" itu, pola pikir mereka "hitam putih", main kutip ayat-ayat Alkitab secara harfiah terlepas dari konteks (mirip dengan "metode ayat bukti" a la bidat Saksi-saksi Yehuwa), dan kekurangan paling serius mereka, tidak menguasai filologi bahasa-bahasa semitis, khususnya keserumpunan bahasa Ibrani, Aram dan Arab.

Karena itu, saya anggap enteng saja gerakan mereka itu. Tetapi setelah melihat sepak terjang mereka semakin ngawur, hantam kromo, dan lebih penting lagi agaknya mereka didukung oleh dana yang cukup besar, saya harus belajar telaten menulis untuk menjelaskan kaum awam dalam bahasa Arab itu. Tulisan singkat ini, kiranya dapat membatu umat Kristiani di Indonesia yang "sedang diombang-ambingkan oleh penga-jaran mereka"
.
Asal-usul Allah: Tinjauan dari Bahasa Arab

Kalau dr. Suradi mula-mula, -- sebagaimana banyak artikel-artikel polemik Kristen terbitan Amerika, -- menyangkal sama sekali bahwa istilah Allah cognate dengan El, Eloah, Elohim (Ibrani) dan Elah, Alaha (Aram/Suryani), kini para penerusnya mencoba memisahkan antara kata-kata ilah (sembahan), alihat, (sembahan-sembahan) dan al-Ilah (sembahan itu, sembahan yang benar) yang se-rumpun dengan istilah el, eloah, elohim dengan Allah yang dianggapnya "nama dari dewa Arab yang mengairi bumi". Allah, yang dianggapnya sebagai nama "dewa air", dirujuknya dari artikel Wahyuni Nafis, dalam bunga rampai The Passing Over: Melintas Batas Agama, menjadi dasar penolakannya terhadap penggunaan kata Allah dalam Alkitab Kristen di Indonesia.

Untuk meneguhkan pembedaan antara ilah, alih-ah, dan al-Ilah dengan Allah, Teguh Hendarto lalu menyangkal bahwa istilah Allah berasal dari al-Ilah (Bahana, Maret 2001). Menurut argumentasinya yang sangat awam mengenai bahasa Arab, ia menulis kalau al-Ilah dapat disingkat menjadi Allah, mengapa Alkitab tidak menjadi Altab? Untuk itu saya harus menjelaskannya secara sabar, karena mungkin ia tidak bisa membaca sepotongpun huruf Arab, meski gayanya yang kelewat percaya diri seolah-olah mau menggurui saya.

Begini, pada prinsipnya sebuah kata dalam bahasa-bahasa semitik dibentuk dari akar kata (al-jidr) yang biasanya terdiri dari 3 konsonan. Akar kata itu bisa dipecah-pecah menjadi kata benda, kata sifat, kata kerja dan kata benda baru. Misalnya, kitab dari kata k-t-b. Dari akar kata ini, lalu dibentuklah menjadi banyak kata: kata benda, kata kerja, dan sebagainya. Dari akar kata k-t-b kita dapat menemukan kata-kata sebagai berikut: kitaab (buku), kaatib (penulis), maktabah (perpustakaan), maktub (tertulis, termaktub), uktub (tulislah!), dan seterusnya.

Sedangkan kata Ilah, al-Ilah terbentuk dari 3 akar kata hamzah, lam, haa (‘-l-h). Dari akar kata ini, kita mengenal isltilah ilah, alihah, dan al-Ilah (atau bentuk singkatnya: Allah). Sebagai sesama bahasa rumpun semitis, bahasa Ibrani dan bahasa Aram mempunyai ciri yang sama. Saya juga pernah menulis, bahwa kata Ibrani Elah, Eloah berasal dari kata el (kuat) dan alah (sumpah). Al- dalam kata Allah berbeda dengan El (kuat) dalam bahasa Ibrani. Kata Ibrani El, sejajar dengan bahasa Arab Ilah, sedangkan kata sandang Al- yang mendahului Ilah sejajar dengan bahasa Ibrani ha-elohim (Raja-raja 18:39). Tetapi kasus penyingkatan al-Ilah menjadi Allah hanya terjadi dalam bahasa Arab, tidak terjadi dalam bahasa Ibrani atau Aram.

Selanjutnya, memisahkan sebutan Allah dari Ilah, al-Ilah juga tidak bisa dipertahankan. Sebab ahli bahasa Arab, baik dari kalangan Islam maupun Kristen, juga banyak yang menganggap bahwa sebutan Allah itu musytaq atau dapat dilacak asal-usulnya dari kata lain. Jadi, tidak benar anggapan kaum penentang Allah itu yang mengatakan bahwa Allah tidak bisa diterjemahkan dalam bahasa-bahasa lain. Memang, ada penerjemah al-Qur’an yang berpandangan demikian, misalnya terjemahan Abdallah Yusuf Ali, The Meaning of The Holy Quran.

Jadi, tidak semua umat Islam berpandangan bahwa istilah Allah itu ghayr al-musytaq (tidak berasal dari kata lain, karena dianggap "the proper name"). Sama seperti "kaum penentang Allah" yang menganggap Yahweh tidak bisa diterjemahkan, begitu juga di kalangan Islam ada yang berpandangan seperti itu. Pdt. Jacob Sulistiono mengutip majalah Islam Sabili, yang memuat tulisan seorang Muslim yang menganggap bahwa Allah itu tidak bisa diterjemahkan, tetapi itu tidak mewakili pendapat seluruh umat Islam di dunia. Bahkan di kalangan Islam sendiri, Sabili sering dianggap mewakili kelompok Islam garis keras, setali tiga uang dengan "kaum penentang Allah", minimal dalam pandangan teologisnya yang sama-sama "hitam putih" itu.

Salah satu diantara terjemahan al-Qur’an dalam bahasa Inggris yang menerje-mahkan istilah Allah, misalnya silahkan membaca: The Massage of the Qur’an, oleh Muhammad Asad. Dalam terjemahan yang cukup otoritatif di dunia Islam Barat ini, ungkapan: Bismillahi Rahmani Rahim diterjemahkan: "In the Name of God, The Most Grocious, The Dispenser of Grace".

Memang, Sabili dalam salah satu terbitannya pernah menguraikan bahwa secara etimologis, kata Allah yang terdiri dari huruf alif, lam, lam dan ha' dengan tasydid sebagai tanda idgham lam pertama pada lam kedua) adalah ghairu musytaq (tidak ada asal katanya dan bukan pecahan dari kata lain). Karena itu, kata ini tidak bisa diubah menjadi bentuk tatsniyah (ganda) dan jama' (plural). Demikian pula kata ini tidak dapat dijadikan sebagai mudhaf. Jacob Sulistiono mengutip ini, saya yakin ia sendiri tidak mengerti apa itu bentuk mutsanah, jama’ atau mudhaf dalam bahasa Arab.

Harus saya jelaskan sekali lagi, padangan Sabili sama sekali tidak bisa dianggap representatif mewakili Islam. Banyak ulama Islam terkemuka yang berpandangan sebaliknya. Contohnya, kita bisa membaca kitab yang sangat terkenal di dunia Arab, al-Mu’jam al-Mufahras, yang menempatkan kata Allah tersebut di bawah heading (judul): hamzah, lam, haa ( ‘-l-h). Mengapa? Karena Al- pada Allah adalah hamzah wasl, sehingga Al- bisa hilang dalam kata: wallahi, bi-lahi, lil-lahi, dan sebagainya. Misalnya, pada kalimat Alhamdu lil-lah (segala puji bagi Allah), lil-lahi ta’ala (karena Allah Yang Maha Tinggi), kata sandang Al- di depan Allah juga dihilangkan.

Sedangkan kata Allah tidak bisa dijumpai dalam bentuk ganda dan jamak, secara historis dibuktikan karena kata sandang al- yang mendahului kata ilah, muncul untuk menegaskan: ilah itu, yang sudah mengandung makna pengkhususan. Maksudnya, bisa berarti Dia adalah ilah yang paling besar, sedangkan ilah-ilah lain berada di bawahnya, seperti dianut kaum Mekkah pra-Islam, seiring dengan pergeseran dari paham politeisme menuju henoteisme. Sebaliknya, bisa juga berarti "ilah satu-satunya, yang tidak ada ilah selain-Nya". Makna kedua ini, antara lain diberikan oleh orang-orang Yahudi, Kristen, kaum Hanif pra-Islam di wilayah Arab untuk menegaskan Keesaan-Nya. Tradisi monoteisme inilah yang kemudian dilanjutkan oleh Islam.

Selanjutnya, kata Allah memang tidak dapat dijadikan mudhaf, tetapi itu tidak berarti bahwa Allah itu nama diri. Sebab bukan hanya "nama diri" yang tidak bisa dijadikan mudhaf, tetapi setiap bentuk ma’rifah juga tidak bisa dijadikan mudhaf. Misalnya, kita berkata: Baitu al-Kabiiri (Rumah yang besar itu). Kata baitu dalam kalimat ini adalah "mudhaf", sedangkan al-kabiiri adalah "mudhaf ilaih". Tetapi kalau kita tambahkan al- sebelum bait, misalnya: al-baitu kabiirun (Rumah itu besar). Jadi, maknanya berbeda. Mengapa? Karena al-bait disini menjadi mubtada’ (subyek), bukan mudhaf lagi, sedangkan kabiirun adalah khabar (predikat).

Metode "debat Kusir" dan "Logika Jungkir Balik" Penentang Allah

Saya sangat paham apabila LAI selama ini tidak pernah menggubris tuntutan kelompok sempalan ini, yang menuntut agar dalam Alkitab bahasa Indonesia dihilangkan kata Allah. Mengapa? Anda baru mengetahui alasannya, kalau anda mengikuti metode "debat kusir" dan "logika jungkir balik" mereka. Saya sekedar mengulang beberapa contoh:

Mula-mula mereka menuduh Allah itu "dewa air" berdasarkan beberapa rujukan yang mereka anggap mendukung, bahwa Allah pernah disembah bersama dewa-dewa kafir Mekkah pra-Islam. Tuduhan ini lalu saya tanggapi, Pertama: berdasarkan inkripsi-inskripsi Arab Kristen pra-Islam, yaitu Zabad (521 M) dan Umm al-Jimmal (perte-ngahan abad ke-6 M) bahwa Allah sudah dimaknai secara monoteistik Kristen, lengkap dengan foto-foto inskripsi, bacaannya, ulasan para ahli filologi, dan perkembangannya di gereja-gereja Arab setelah Islam hingga zaman kita sekarang; dan kedua: berdasarkan inskripsi Kirbeth el-Qom dan Kunlitet Ajrud, yang ditemukan di wilayah Hebron, Yahweh pun juga pernah disembah bersama dewi kesuburan, Asyera.

Tanggapan saya ditanggapi balik. Pertama, bukti-bukti pemakaian Allah menurut inskripsi pra-Kristen itu, menurutnya tidak membuktikan keabsahan kata Allah, melainkan karena orang Arab Kristen tidak tahu asal-usulnya. Jadi, Hendarto sudah mempunyai praduga dulu, bahwa Allah itu "dewa air", "dewa bulan", "dewa matahari", atau dewa apapun Allah itu, ia tidak perduli, yang penting kata itu harus ditolak. Ia tidak menyelidiki dulu, bahkan buku Roberts Morrey, yang lebih merupakan karya polemik yang sangat provokatif anti-Islam itu, disebutnya sebagai "bukti archeologis?".

Padahal, dalam buku ini tidak ada pembahasan arkheologis sama sekali, kecuali berbagai sumber bacaan yang dirangkai-rangkai tanpa penelitian mendalam. Juga buku Steppen van Natan, Allah: Divine or Demonic, yang lebih menyerupai traktat tersebut, bagaimana "buku sampah" begini bisa disejajarkan dengan hasil penelitian Prof. Littmann, misalnya, yang meneliti inkripsi-inskripsi Arab pra-Islam itu sangat menda-lam, bahkan banyak ahli-ahli lain yang reputasinya tidak diragukan, yang telah menyerahkan hampir seluruh hidup mereka untuk penelitian ilmiah.

Jadi, mereka menolak kata Allah berdasarkan buku-buku para penginjil yang berangkat dari asumsi teologis "hitam-putih" dan sama sekali tidak mempunyai keahlian di bidang sejarah dan arkheologi. Tetapi ketika saya counter dengan bukti-bukti sejarah, dikatakannya "bahwa itu hanya statement manusia, yaitu orang Islam dan Kristen Arab, yang tidak korelasinya dengan Firman Tuhan dalam Alkitab". Komentar ini, mungkin disebabkan karena saya tidak banyak "main kutip ayat-ayat" seperti mereka. Maksud-nya, banyak ayat Alkitab mereka ajukan untuk mendukung anggapan mereka bahwa nama Yahwe tidak boleh diterjemahkan, sedangkan mereka mamahami nama ilahi itu sama seperti nama-nama makhluk-Nya. Untuk menunjukkan kedangkalan pemikiran mereka, silahkan baca artikel saya: "Nama Yahweh: Harus Dipertahankan atau Boleh Diterjemahkan?".
Kedua, kalau saya buktikan bahwa Yahwe juga pernah disembah bersama dengan dewi Asyera, dengan enteng ia mengatakan bahwa itu hasil sinkretisme di Israel pada zaman dahulu, tanpa secara fair juga menerapkan penilaian yang sama untuk kata Allah, bahwa istilah Arab ini juga diartikan secara salah oleh orang-orang Arab pra-Islam. Padahal bahasa itu netral, tergantung apa makna yang kita berikan. Inilah yang saya namakan motode "debat kusir" alias debat tukang dokar, dengan "logika jungkir balik" mereka itu.

Yang lebih menggelikan lagi, Teguh Hendarto mengkoreksi terjemahan Alkitab al-Muqaddas (Today’s Arabic Version), terbitan Dar al-Kitab al-Muqaddas fi al-Syarq al-Ausath, Beirut, yang saya kutip dalam makalah saya. Ungkapan Laa Ilaha illa Allah (Tidak ada Ilah kecuali Allah) yang tercatat dalam 1 Korintus 8:4, dengan gayanya yang menggurui, katanya terjemahan yang benar: Laa Ilaha al-Wahid. Ini bahasa Arab apa? Tidak ada artinya sama sekali, dan terang saja akan ditertawakan santri desa yang baru belajar Juzz Amma. Tetapi, ya itulah kualitas rata-rata kaum Penentang Allah itu. Semua ini saya ungkap di sini, karena gerakan mereka semakin gencar dan ngawur, seperti yang akan kita lihat di bawah ini.
Teguran Keras Mubaliq se-Indonesia: Provokasi Opo maneh iki, Rek?
Sama ngototnya dengan Hendarto, kita juga dikacau oleh Pdt. Jacob Sulistyono, seorang penganut "sekte Yahweh" , yang lebih Yahudi ketimbang Yahudi sendiri, dalam perdebatannya di www.salib.net Banyak orang menduga, bahwa ia sendiri berada di belakang kasus "Surat Teguran Keras Mubaligh se-Indonesia", yang tidak jelas jun-trungannya itu. Menurutnya, Allah dalam Islam dan Yahwe dalam Kristen itu mutlak berbeda. "Umat Islam tidak suka orang Kristen menyebut Allah", tulisnya, "karena ada istilah Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus, sedangkan Islam percaya bahwa Allah itu tdk bisa disamakan dengan apapun". Hal ini sesuai dengan Al-Qur’an yang menyebutkan sebagai berikut:
Qul huwa llaahu ahad. Allahush shamad. Lam Yalid wa lam yulad. Wa Lam Yakun lahu kufuwwan ahad. Artinya: "Katakanlah Dialah Allah Yang Esa. Allah, Dia adalah tempat bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya (Q.s. al-Ikhlas 112/ 1 – 4).

Artinya: "Katakanlah Dialah Allah Yang Esa. Allah, Dia adalah tempat bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya (Q.s. al-Ikhlas 112/ 1 – 4).
Laqad kafar alladzina qaluu Innallaha huwa al-Masih ibn Maryam. Artinya: "Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: Sesungguhnya Allah itu ialah al-Masih Putra Maryam" (Q.s. Al-Maaidah/5:17).
Artinya: "Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: Sesungguhnya Allah itu ialah al-Masih Putra Maryam" (Q.s. Al-Maaidah/5:17).

Dengan keterangan di atas, ia seolah-olah malah membenarkan bahwa Tuhan orang Kristen itu beranak dan diperanakkan. Padahal mestinya, sebagai orang yang mengaku pengikut Kristus, justru seharusnya ia menjelaskan kepada umat Islam bahwa istilah Putra Allah itu bukan dalam makna "beranak dan diperanakkan", bukan malah membenarkannya, sekedar demi mendukung penolakannya atas istilah Allah. Q.s. al-Ikhlas ditujukan untuk menolak keyakinan pra-Islam di Mekkah, bahwa Allah mempu-nyai anak-anak perempuan, yaitu al-Latta, Uzza dan Manah.

Sedangkan Q.s. al-Maidah 17 lebih diarahkan kepada keyakinan semacam mujja-simah (antropomorfisme) bidat Kristen di Mekkah, yang menganggap bahwa Allah sama dengan tubuh kemanusiaan Yesus itu sendiri. Sudah barang tentu, keyakinan ganjil seperti ini juga tidak pernah dianut oleh orang Kristen manapun, baik itu gereja Katolik, gereja-gereja ortodoks dan reformasi Protestan sekarang ini.

Para ahli lain juga menghubungkan keyakinan yang diserang al-Qur’an itu dengan sekte bidat Kristen Maryamin (penyembah Maryam), yang memuja Maryam dan mengarak patungnya di sekeliling ka’bah serta mempersembahkan kepadanya collyrida (roti persembahan), sehingga disebut juga sekte Collyridianisme. Karena itu, tepatnya yang ditolak al-Qur’an adalah keyakinan pseudo-trinity yang terdiri: Allah, ‘Isa al-Masih dan Maryam (Q.s. an-Nisa’/4:171; al-Maidah/5: 73, 116), dan sema sekali tidak cocok diterapkan untuk keyakinan Kristen sebenarnya.

Sebelum saya tutup artikel ini dengan penjelasan singkat makna Putra Allah dalam Iman Kristen, perlu saya tanyakan mengenai tuntutan Mubaligh se-Indonesia? Lembaga ini kalau memang ada, mewakili siapa sehingga berani meng-claim dirinya seolah-olah seluruh umat Islam Indonesia? Ini sangat berbahaya bagi kerukanan umat beragama, apalagi kalau lembaga fiktif ini sengaja dibuat kelompok Kristen tertentu untuk meloloskan pandangan-pandangannya yang tidak ilmiah itu.
Makna term Putra Allah: Belajar
Dari "bahasa teologis" Kristen Arab
Kalau begitu, apakah makna sebenarnya istilah Putra Allah dalam Iman Kristen? Harus ditegaskan, bahwa tidak ada umat Kristen yang pernah mempunyai sebersit pemikiran pun bahwa Allah secara fisik mempunyai anak, seperti keyakinan primitif orang-orang Mekkah pra-Islam tersebut. Saya ingin menjelaskan metafora ini berda-sarkan teks-teks sumber Kristen Arab, supaya terbangun kesalingpahaman teologis Kristen-Islam di Indonesia. Sebab selama ini ada jarak yang cukup lebar secara kultural antara "bahasa teologis" Kristen Barat, yang memang tidak pernah bersentuhan dengan Islam, sehingga kesalahpahaman semakin berlarut-larut.

Istilah Putra Allah yang diterapkan bagi Yesus dalam Iman Kristen untuk mene-kankan praeksistensi-Nya sebagai Firman Allah yang kekal, seperti disebutkan dalam Injil Yohanes 1:1-3. Ungkapan "Pada mulanya adalah Firman", untuk menekankan bahwa Firman Allah itu tidak berpermulaan, sama abadi dengan Allah karena Firman itu adalah Firman Allah sendiri.

Selanjutnya, "Firman itu bersama-sama Allah", menekankan bahwa Firman itu berbeda dengan Allah. Allah adalah Esensi Ilahi (Arab: al-dzat, the essence), yang dikiaskan Sang Bapa, dan Firman menunjuk kepada "Pikiran Allah dan Sabda-Nya. Akal Ilahi sekaligus Sabda-Nya" (‘aqlullah al-naatiqi, au natiqullah al-‘aaqli, faahiya ta’na al-‘aqlu wa al-naatiqu ma’an), demikianlah term-term teologis yang sering dijumpai dalam teks-teks Kristen Arab. Sedangkan penegasan "Firman itu adalah Allah", mene-kankan bahwa Firman itu, sekalipun dibedakan dari Allah, tetapi tidak berdiri di luar Dzat Allah. Mengapa? "Tentu saja", tulis Baba Shenuda III dalam bukunya Lahut al-Masih (Keilahian Kristus), "Pikiran Allah tidak akan dapat dipisahkan dari Allah ( ‘an ‘aqlu llahi laa yunfashilu ‘an Allah)". Dengan penegasan bahwa Firman itu adalah Allah sendiri, makan keesaan Allah (tauhid) dipertahankan.
Ungkapan "Firman itu bersama-sama dengan Allah", tetapi sekaligus "Firman itu adalah Allah", bisa dibandingkan dengan kerumitan pergulatan pemikiran Ilmu Kalam dalam Islam, yang merumuskan hubungan antara Allah dan sifat-sifatnya: Ash Shifat laysat al-dzat wa laa hiya ghayruha (Sifat Allah tidak sama, tetapi juga tidak berbeda dengan Dzat Allah). Jadi, kata shifat dalam Ilmu Kalam Islam tidak hanya bermakna sifat dalam bahasa sehari-hari, melainkan mendekati makna hypostasis dalam bahasa teologis Kristen.

Dalam sumber-sumber Kristen Arab sebelum munculkan ilmu Kalam al-Asy’ari, hyposistasis sering diterjemahkan baik shifat maupun uqnum , "pribadi" (jamak: aqanim), asal saja dimaknai secara metafisik seperti maksud bapa-bapa gereja, bukan dalam makna psikologis. Sedangkan ousia diterjemahkan dzat, dan kadang-kadang jauhar. Istilah dzat dan shifat tersebut akhirnya dipentaskan kembali oleh kaum Suni dalam menghadapi kaum Mu’tazili yang menyangkal keabadian Kalam Allah (Al-Qur’an), sebagaimana gereja menghadapi bidat Arius yang menyangkal keabadian Yesus sebagai Firman Allah.

Kembali ke makna Putra Allah. Melalui Putra-Nya atau Firman-Nya itu Allah menciptakan segala sesuatu. "Segala seuatu diciptakan oleh Dia, dan tanpa Dia tidak sesuatupun yang jadi dari segala yang dijadikan" (Yohanes 1:3). Jelaslah bahwa mem-pertahankan keilahian Yesus dalam Iman Kristen, tidak berarti mempertuhankan kemanusiaan-Nya, apalagi dengan rumusan yang jelas-jelas keliru: "Sesungguhnya Allah adalah al-Masih Putra Maryam" (innallaha huwa al-masih ibn maryam).

Dalam rumusan ini, yang ditentang al-Qur’an adalah menyamakan kemanusiaan Yesus dengan Allah. Padahal yang kita dimaksudkan ketika mempertahankan keilahian Yesus, menunjuk kepada Firman yang kekal bersama-sama Allah, yang melalui-Nya alam semesta dan segala isinya ini telah diciptakan.

Dan karena sejak kekal Kristus adalah Akal Allah dan Sabda-Nya, maka jelaslah Firman itu adalah Allah. Karena Akal Allah berdiam dalam Allah sejak kekal (wa madaama al-Masih huwa ‘aql allah al-naatiqi, idzan faahuwa llah, lianna ‘aql allah ka’inu fii llahi mundzu azali). Dan karena itu pula, Firman itu bukan ciptaan (ghayr al-makhluq), karena setiap ciptaan pernah tidak ada sebelum diciptakan).

Secara logis, mustahillah kita membayangkan pernah ada waktu dimana Allah ada tanpa Firman-Nya, kemudian Allah menciptakan Firman itu untuk Diri-Nya sendiri. Bagaimana mungkin Allah ada tanpa Pikiran atau Firman-Nya? Kini kita memahami secara jelas ajaran Tritunggal Yang Mahaesa, bahwa Allah, Firman dan Roh-Nya adalah kekal, sedangkan Firman dan Roh Allah selalu berdiam dalam keesaan Dzat-Nya, berada sejak kekal dalam Allah).

Secara logis, mustahillah kita membayangkan pernah ada waktu dimana Allah ada tanpa Firman-Nya, kemudian Allah menciptakan Firman itu untuk Diri-Nya sendiri. Bagaimana mungkin Allah ada tanpa Pikiran atau Firman-Nya? Kini kita memahami secara jelas ajaran Tritunggal Yang Mahaesa, bahwa Allah, Firman dan Roh-Nya adalah kekal, sedangkan Firman dan Roh Allah selalu berdiam dalam keesaan Dzat-Nya, berada sejak kekal dalam Allah).
Selanjutnya, istilah Putra Allah berarti "Allah mewahyukan Diri-Nya sendiri melalui Firman-Nya". Allah itu transenden, tidak tampak, tidak terikat ruang dan waktu. "Tidak seorangpun melihat Allah", tulis Rasul Yohanes dalam Yohanes 1:18, "tetapi Anak Tunggal Allah yang ada di pangkuan Bapa Dialah yang menyatakan-Nya". Inilah makna tajjasad (inkarnasi). "Dengan inkarnasi Firman-Nya", tulis Baba Shenouda III, "kita melihat Allah. Tidak seorangpun melihat Allah dalam wujud ilahi-Nya yang kekal, tetapi dengan nuzulnya Firman Allah, kita melihat pewahyuan diri-Nya dalam daging" (Allahu lam yarahu ahadun qathu fi lahutihi, wa lakinahu lamma tajjasad, lamma thahara bi al-jasad).

Melalui Firman-Nya Allah dikenal, ibarat seseorang mengenal diri kita setelah kita menyatakan diri dengan kata-kata kita sendiri. Jadi, sebagaimana kata-kata se-seorang yang keluar dari pikiran seseorang mengungkapkan identitas diri, begitu Allah menyatakan Diri-Nya melalui Firman-Nya. Inilah maka ungkapan dalam Qanun al-Iman (Syahadat Nikea/Konstantinopel tahun 325/381), yang mengatakan bahwa Putra Allah yang Tunggal telah "lahir dari Sang Bapa sebelum segala zaman" (Arab: al-maulud min al-Abi qabla kulli duhur). Adakah di dunia ini seseorang yang dilahirkan dari Bapa? Jawabnya, tentu saja tidak ada! Setiap orang lahir dari ibu. Karena itu, Yesus disebut Putra Allah jelas bukan kelahiran fisik, tetapi kelahiran ilahi-Nya sebagai Firman yang kekal sebelum segala zaman.

Tetapi bukankah secara manusia Yesus dilahirkan oleh Bunda Maria? Betul, itulah makna kelahiran-Nya yang kedua dalam daging. Mengenai misteri ini, Bapa-bapa gereja merumuskan2 makna kelahiran (wiladah) Kristus itu, seperti dirumuskan dalam ungkapan yang indah:

As-Sayid al-Masih lahu miladain: Miladi azali min Ab bi ghayr umm qabla kulli ad-duhur, wa miladi akhara fi mal’i al-zamaan min umm bi ghayr ab. Artinya: "Junjungan kita al-Masih mempunyai dua kelahiran: Kelahiran kekal- Nya dari Bapa tanpa seorang ibu, dan kelahiran-Nya dalam keterbatasan zaman dari ibu tanpa seorang bapa insani’.

Artinya: "Junjungan kita al-Masih mempunyai dua kelahiran: Kelahiran kekal- Nya dari Bapa tanpa seorang ibu, dan kelahiran-Nya dalam keterbatasan zaman dari ibu tanpa seorang bapa insani’.
"Lahir dari Bapa tanpa seorang ibu", menunjuk kepada kelahiran kekal Firman Allah dari Wujud Allah. Tanpa seorang ibu, untuk menekankan bahwa kelahiran itu tidak terjadi dalam ruang dan waktu yang terbatas, bukan kelahiran jasadi (bi ghayr jasadin) melalui seorang ibu, karena memang "Allah tidak beranak dan tidak diper-anakkan". Jadi, dalam hal ini Iman Kristen bisa sepenuhnya menerima dalil al-Qur’an: Lam Yalid wa Lam Yulad, karena memang tidak bertabrakan dengan makna teologis gelar Yesus sebagai Putra Allah.

Sebaliknya, "Lahir dari ibu tanpa bapa", menekankan bahwa secara manusia Yesus dilahirkan dalam ruang dan waktu yang terbatas. Meskipun demikian, karena Yesus bukan manusia biasa seperti kita, melainkan Firman yang menjadi manusia, maka kelahiran fisik-Nya ditandai dengan mukjizat tanpa perantaraan seorang ayah insani. Kelahiran-Nya yang kedua ke dunia karena kuasa Roh Allah ini, menyaksikan dan meneguhkan kelahiran kekal-Nya "sebelum segala abad". Dan karena Dia dikandung oleh kuasa Roh Kudus, maka Yesus dilahirkan oleh Sayidatina Maryam al-Adzra’ (Bunda Perawan Maria) tanpa seorang ayah.

Dari deskripsi di atas, jelaslah bahwa ajaran Tritunggal sama sekali tidak berbicara tentang ilah-ilah selain Allah. Ajaran rasuli ini justru mengungkapkan misteri keesaan Allah berkat pewahyuan diri-Nya dalam Kristus, Penyelamat Dunia. Dalam Allah (Sang Bapa), selalu berdiam secara kekal Firman-Nya (Sang Putra) dan Roh Kudus-Nya. Kalau Putra Allah berarti Pikiran Allah dan Sabda-Nya, maka Roh Kudus adalah Roh Allah sendiri, yaitu hidup Allah yang abadi. Bukan Malaikat Jibril seperti yang sering dituduhkan beberapa orang Muslim selama ini. Firman Allah dan Roh Allah tersebut bukan berdiri di luar Allah, melainkan berada dalam Allah dari kekal sampai kekal

Jadi, jelaslah bahwa Iman Kristen tidak menganut ajaran sesat yang diserang oleh al-Qur’an, bahwa Allah itu beranak dan diperanakkan. Untuk memahami Iman Kristen mengenai Firman Allah yang nuzul (turun) menjadi manusia ini, umat Islam hendaknya membandingkan dengan turunnya al-Qur’an alam Allah (nuzul al-Qur’an). Kaum Muslim Suni (Ahl l-Sunnah wa al-Jama’ah) juga meyakini keabadian al-Qur’an sebagai kalam nafsi (Sabda Allah yang kekal) yang berdiri pada Dzat-Nya, tetapi serentak juga terikat oleh ruang dan waktu, yaitu sebagai kalam lafdzi (Sabda Tuhan yang temporal) dalam bentuk mushaf al-Qur’an dalam bahasa Arab yang serba terbatas tersebut.

Dan sperti fisik kemanusiaan Yesus yang terikat ruang dan waktu, yang "dibu-nuh dalam keadaannya sebagai manusia" (1 Petrus 3:18), begitu juga mushaf al-Qur’an bisa rusak dan hancur. Tetapi Kalam Allah tidak bisa rusak bersama rusaknya kertas al-Qur’an. Demikianlah Iman Kristen memahami kematian Yesus, kematian-Nya tidak berarti kematian Allah, karena Allah tidak bisa mati. Saya kemukakan data-data paralelisasi ini bukan untuk mencocok-cocokkan dengan Ilmu Kalam Islam. Mengapa? Sebab justru seperti sudah saya tulis di atas, pergulatan Islam mengenai Ilmu Kalam dirumuskan setelah teolog-teolog Kristen Arab, menerjemahkan istilah-istilah teologis dari bahasa Yunani dan Aram ke dalam bahasa Arab.

Akhirul Kalam, semoga tulisan ini semakin merangsang pembaca untuk meng-gumuli teologi kontekstual yang mendesak dibutuhkan gereja-gereja di Indonesia, khususnya dalam merentas jalan menuju dialog teologis dengan Islam. Bukankah dialog teologis Kristen-Islam selama ini sering mengalami kebuntuan, karena "kesenjangan bahasa teologis" antara keduanya, akibat tajamnya pengkutuban Barat-Timur selama ini? Marilah kita realisasikan pesan rasuli, supaya kita siap sedia segala waktu "untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu…." (1 Petrus 3:15), dan bukan malah menghabiskan energi kita untuk mengurusi "kelompok-kelompok kurang cerdas yang suka bikin onar" itu.

Bambang Noorsena

Yang Suci Mulia dan Pemimpin Terpuji dari Para Rasul, Petrus dan Paulus

Yang Suci Mulia dan Pemimpin Terpuji dari Para Rasul, Petrus dan Paulus

Minggu, 29 Juni 2008

Homili Santo Agustinus, Uskup Hippo.
Hari ini Gereja Orthodox dengan ketakjuban mengenang kembali penderitaan dari Yang Suci Mulia dan Terberkati Rasul Petrus dan Paulus.
Santo Petrus, seorang pengikut setia Yesus Kristus, karena pengakuan mendalam akan KeilahianNya: Engkaulah Kristus, Putera dari Allah Yang Hidup,” dianggap layak oleh sang Juruselamat mendengar jawaban ini, “Terberkatilah engkau, Simon ... Aku berkata kepadamu, bahwa engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang [petra] ini Aku akan mendirikan GerejaKu” (Mat. 16:16-18). Di atas “batu ini” [petra], berkenaan yang engkau katakan diatas: “Engkaulah Kristus, Putera dari Allah Yang Hidup” bahwa pada pengakuanmu inilah Aku mendirikan GerejaKu. Sementara “engkaulah Petrus”: diasalkan dari “batu” [petra] yang berarti Petrus, dan bukan dari Petrus yang adalah “batu”, sebagaimana Kristen berasal dari Kristus, dan bukan Kristus dari Kristen. Apakah engkau ingin tahu, darimana kata “batu karang” [petra] yang disematkan kepada Rasul Petrus? Dengarlah Rasul Paulus: “Aku mau, supaya kamu mengetahui, saudara-saudara, bahwa nenek moyang kita semua berada di bawah perlindungan awan dan bahwa mereka semua telah melintasi laut. Untuk menjadi pengikut Musa mereka semua telah dibaptis dalam awan dan dalam laut. Mereka semua makan makanan rohani yang sama dan mereka semua minum minuman rohani yang sama, sebab mereka minum dari batu karang rohani yang mengikuti mereka, dan batu karang itu ialah Kristus.” (I Kor. 10:1-4). Inilah darimana kata “Batu Karang” yang adalah Petrus.
Tuhan kita Yesus Kristus, pada saat-saat terakhir dari kehidupan duniawiNya, dalam hari-hari pelayananNya bagi umat manusia, memilih dari antara murid-muridNya Dua Belas Rasul untuk mengajarkan Firman Allah. Diantara mereka adalah Rasul Petrus karena semangatnya yang berapi-api, dianggap siap menduduki tempat pertama (Mat. 10:2) dan menjadi pribadi yang mewakili semua Gereja. Olehkarenanya dikatakan kepadanya, secara khusus, setelah pengakuan itu: “Aku akan memberikan kepadamu kunci Kerajaan Allah: dan apa yang engkau ikat di dunia, akan diikat dalam surga: dan apa yang engkau lepas di dunia: akan dilepas dalam surga” (Mat. 16:19). Olehkarenanya bukan satu orang, namun Satu Gereja Semesta, yang menerima “kunci” ini dan hak “untuk mengikat dan melepas.” Dan bahwa demikianlah kenyataannya bahwa Gereja-lah yang menerima hak ini, dan bukan seorang pribadi saja. Palingkanlah perhatianmu ke tempat lain di dalam Kitab Suci, dimana Tuhan yang sama berkata kepada semua RasulNya, “Terimalah Sang Roh Kudus” dan selanjutnya, “Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada” (Yoh. 20:22-23); atau: “Sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga” (Mat. 18:18). Jadi, bahwa Gereja-lah yang mengikat dan melepas. Gereja didirikan di atas pondasi batu penjuru, yakni Yesus Kristus Sendiri (Efesus 2:20) baik yang terikat maupun yang terlepas. Biarlah yang terikat dan yang terlepas digentarkan: yang terlepas, agar supaya tidak jatuh dibawah ini lagi; yang terikat, agar supaya tidak selamanya tetap dalam kondisi ini. Olehkarenanya “Orang fasik tertangkap dalam kejahatannya, dan terjerat dalam tali dosanya sendiri,” kata Kebijaksanaan (Amsal 5:22); dan kecuali bagi Gereja Kudus tidak dimanapun juga adalah mungkin untuk menerima yang terlepas.
Setelah KebangkitanNya, Tuhan mempercayakan Rasul Petrus untuk menggembalakan umat rohaniNya bukan karena, bahwa diantara para murid hanya Petrus saja yang paling mumpuni untuk menggembalakan umat Kristus, namun Kristus menunjuk Dirinya Sendiri yang diwakilkan pada Petrus karena, bahwa Petrus adalah yang pertama diantara Para Rasul dan sebagai wakil Gereja; lagipula bahwa, menilik pada Petrus itu sendiri, sebagai kepala Para Rasul, Kristus dengan ini menegaskan kesatuan Gereja. “Simon anak Yohanes” – kata Tuhan kepada Petrus – “apakah engkau mengasihiKu?” – dan sang Rasul menjawab: “Ya, Tuhan, Engkau tahu bahwa Aku mengasihiMu”; dan untuk kali kedua Ia menanyakan hal yang sama, dan dijawab dengan jawaban yang sama pula; pada pertanyaan yang sama untuk kali ketiga, Petrus merasa bahwa jawabannya kurang meyakinkan sehingga sedihlah hatinya. Namun bagaimana mungkin baginya untuk tidak percaya kepadaNya, Dia yang mengenal hatinya? Dan kemudian Petrus menjawab: “Tuhan, Engkau tahu segala hal; Engkau tahu bahwa Aku mengasihiMu.” Dan kata Yesus kepadanya sebanyak tiga kali “Gembalakanlah dombaKu” (Yohanes 20:15-17).
Selanjutnya bahwa, tiga kali seruan dari sang Juruselamat kepada Petrus dan tiga kali pengakuan dari Petrus dihadapan Tuhan memiliki suatu tujuan yang berarti bagi sang Rasul. Yakni, bagi yang diberikan “kunci kerajaan” dan hak “untuk melepas dan mengikat” mengitari dirinya tiga kali dengan takut dan tawar hati (Mat. 26:69-75), dan Tuhan tiga kali melepasnya dengan seruan dan membalikkannya dengan pengakuannya akan kasih yang teguh. Dan menggembalakan dengan sungguh umat Kristus yang diperoleh melalui Para Rasul dan para penerus mereka. “Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan”, Rasul Paulus mendesak para imam gereja, “karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan umat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah Anak-Nya sendiri” (Mat. 20:28); dan Rasul Petrus kepada para para tetua: “Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu. Maka kamu, apabila Gembala Agung datang, kamu akan menerima mahkota kemuliaan yang tidak dapat layu” (I Pet. 5:2-4).
Nyatalah bahwa Kristus, yang berkata kepada Petrus: “Gembalakanlah domba-dombaKu,” dan tidak berkata: “Gembalakanlah domba-dombamu,” namun menggembalakan, menjadi pelayan yang baik bagi domba Tuhan. “Apakah Kristus dibagi-bagi? Apakah Paulus disalibkan bagimu? Atau adakah kamu dibaptiskan dalam nama Paulus? (I Kor. 1:13). “Gembalakanlah domba-dombaku”. Waspadalah kepada “serigala-serigala buas, para penindas yang berpura-pura, para pengajar palsu dan menyesatkan yang tidak peduli kepada umat” (Mat. 7:15, Kisah 20:29, II Pet. 2:1, Yoh. 10:12), yang menjarah umat dan membuatnya membusuk seolah-olah itu menjadi lahan keuntungan mereka, mereka berfikir bahwa mereka sedang menggembalakan umat mereka. Yang sedemikian bukanlah imam-imam yang baik, sebagaimana para imam Tuhan. “Gembala yang baik memberikan kehidupannya bagi dombanya” (Yoh. 10:11), dan menaruh Tuhan sebagai Gembala Agung bagi dirinya sendiri (I Pet. 5:4). Dan Rasul Petrus, yakin kepada panggilannya, memberikan jiwanya bagi umat sejati Kristus dengan memateraikan kerasulanya dengan mati sebagai martir yang kini dimuliakan di seluruh penjuru dunia.
Rasul Paulus, yang sebelumnya bernama Saul, diubahkan dari seorang serigala penyesat menjadi domba yang taat. Awalnya dia adalah seorang musuh Gereja yang di kemudian hari menjadi seorang Rasul. Awalnya dia memporak-porandakannya, setelahnya dia mengajarkannya. Setelah menerima dari para imam-imam di Yerusalem suatu kewenangan besar untuk menjebloskan orang-orang Kristen dalam belenggu hukuman mati, dia telah bersiap-siap di jalanan, dia menggemakan “ancaman dan pembunuhan melawan para murid Tuhan” (Kisah 9:1), dia haus darah, namun “Dia yang berdiam dalam Surga akan menertawainya dengan pandangan rendah” (Maz. 2:4). Ketika dia, menganiaya dan menyakiti “Gereja Allah” (I Kor. 15:9, Kis. 8:5), dia datang ke Damaskus, dan Tuhan dari Surga memanggilnya: “Saul, Saul, mengapa engkau menganiaya Aku?” dan Aku disini, disana, dimana-mana: inilah kepalaku, inilah tubuhKu. Ini tidaklah mengejutkan kita, karena kita sendiri adalah anggota-anggota Tubuh Kristus. “Saul, Saul. Mengapa engkau menganiaya Aku” (Kisah 9:4-5). Sementara itu Saul menjadi “terkejut dan takut”, seraya berseru: “Siapakah engkau Tuhan?” Tuhan menjawab, “Akulah Yesus Yang engkau aniaya itu.”
Dan Saul serta merta berbelok arah: “Apa yang Engkau ingin aku lakukan?” – dia menjerit. Dan tiba-tiba ada suatu Suara datang padanya: “Bangunlah, dan pergilah ke kota, dan akan dikatakan kepadamu apa yang harus engkau lakukan” (Kisah 9:6). Lalu Tuhan mengutus Ananias: “Bangunlah dan turunlah ke jalan” kepada seseorang, “yang bernama Saul,” dan baptislah dia, “karena dia ini adalah bejana pilihan bagiKu, yang akan membawa namaKu kehadapan bangsa-bangsa lain, dan raja-raja, dan anak-anak Israel” (Kisah 9:11, 15, 18). Bejana ini akan dipenuhi dengan RahmatKu. “Ananias menyela, Tuhan, Aku mendengar dari banyak orang bahwa orang ini sangat jahat, begitu banyak kejahatan yang dilakukan kepada orang suciMu di Yerusalem: dan disini dia membawa kewenangan dari para imam besar untuk menangkap setiap orang yang menyeru NamaMu” (Kisah 9:13-14). Namun Tuhan mendesak Ananias: “Carilah dan jemput dia, karena bejana ini dipilih bagiKu: karena Aku akan menunjukkan padanya perkara-perkara besar yang akan ditanggungnya demi namaKu” (Kisah 9:11, 15-16).
Dan sungguh Tuhan menunjukkan pada Rasul Paulus perkara-perkara yang akan ditanggungnya demi NamaNya. Dia mengajarkan padanya perkara-perkara surgawi. Bahwa ia akan senantiasa dibelenggu, dirantai, dipenjarakan dan mengalami karam kapal. Tuhan memberitahunya penderitaan-penderitaan yang akan terjadi baginya, dan bahwa Dia akan dibimbing hingga harinya tiba. Pada hari ini secara bersama-sama, kenangan dari penderitaan kedua Rasul ini dirayakan, meskipun mereka disiksa di hari yang berbeda, namun karena semangat dan kesamaan penderitaan mereka, keduanya disatukan. Petrus yang pertama kali, dan Paulus mengikuti tidak lama berselang. Mulanya dipanggil Saul, lalu kemudian Paulus, yang kesombongannya telah diubahkan ke dalam kerendahan hati. Namanya (Paulus) yang bermakna “kecil, mungil, enteng,” menyatakannya. Bagaimanakah Rasul Paulus selanjutnya? Tanyalah dia, dan ia akan memberi jawab dengan ini: “Aku,” katanya, “yang paling akhir dari Para Rasul... namun Aku bekerja lebih banyak dari mereka semua: namun bukan Aku, tetapi rahmat Allah, yang ada denganku” (I Kor. 15:9-10).
Jadi dengan demikian, saudara-saudara, kini rayakanlah kenangan dari Para Rasul suci Petrus dan Paulus, kenanglah penderitaan-penderitaan agung mereka, kita memuliakan iman sejati dan kehidupan suci mereka, kita memuliakan ketiadabersalahan dari penderitaan dan pengakuan murni mereka. Mencintai kualitas luhur yang ada dalam mereka dan meniru perbuatan-perbuatan agung mereka, “yang mana meneladani mereka” (II Tes. 3:5-9), dan kita akan menuju kepada kebahgiaan kekal yang dipersiapkan bagi semua orang sucinya. Langkah kehidupan kita yang tadinya sangat menyedihkan, penuh duri, keras, namun, “kita mempunyai begitu banyak saksi-saksi bagaikan awan yang mengelilingi kita” (Ibrani 12:1), menanggalkan segala beban dosa itu, dan menjadikan beban kita ringan, bercahaya, dan lebih siap melangkah. Dia yang pertama kali menanggalkannya “sang pengarang dan penuntas iman kita,” Tuhan kita Yesus Kristus Sendiri (Ibr. 12:2); Para Rasulnya yang terkasih mengikuti, lalu para martir, anak-anak, para wanita, perawan dan sekumpulan besar saksi-saksi. Siapakah yang bertindak di dalam diri dan menolong mereka dalam jalan ini? Dia Yang berkata, “TanpaKu engkau tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh. 15:5), Dialah Itu!


From :http://www.orthodoxindonesia.org/
Homili of
Santo Agustinus, Uskup Hippo.