Saturday, August 15, 2009

SSPX/Uskup Agung Marcel Lefebvre,

SSPX adalah counter Roma Katolik yang begitu liberal. Di dirikan oleh Uskup Agung Marcel Lefebvre memulai gerakan Konservative borderline dengan Fundamentalist dalam Katolik.
Mari kita lihat Artikel yang saya ambil dari Carmel of Elijah mengenai SSPX


Written by Agus Syawal Yudhistira
Tuesday, 18 November 2008 14:58
Untuk mengawali artikel ini marilah kita mengingat kembali sebuah peristiwa yang terjadi pada tahun 2007 yang lalu. Pada tanggal 7 Juli 2007, Paus Benediktus XVI mempublikasikan sebuah surat apostolik yang diberi nama Summorum Pontificum. Surat ini memperjelas status Misa Romawi era sebelum pembaruan liturgi yang dicanangkan Konsili Vatikan II, atau biasa disebut sebagai Misa Tridentin. Pada saat itu di berbagai media, terutama di luar Indonesia, terdengar kembali sebuah nama: Serikat St. Pius X (Fraternitas Sacerdotalis Sancti Pii X) yang biasa dikenal dengan singkatan SSPX.

Serikat St. Pius X adalah serikat hidup bakti religius, yang utamanya beranggotakan para imam, tetapi juga memiliki anggota religius lain seperti bruder, suster, oblat, dan ordo ketiga. Penampilan mereka memang menggugah perasaan estetika. Anggotanya menggunakan jubah hitam dengan kerah romawi. Gereja-gereja mereka dipenuhi dengan lilin, gambar, dan patung-patung orang kudus. Sikap devosi yang mereka tampilkan sangat besar dan banyak doa dalam bahasa Latin yang mereka lantunkan. Gema lagu-lagu Gregorian berkumandang setiap saat dari mulut mereka. Bagi kebanyakan umat dan juga dalam paparan media massa, SSPX adalah sebuah serikat religius yang terus bertahan menggunakan Misa Tridentin. Karenanya, SSPX ditentang dan dilawan oleh Gereja, apalagi ada berbagai pelanggaran liturgi yang santer terjadi setelah Konsili Vatikan II dan menimbulkan ketidakpuasan umat. Sebagian umat melihat SSPX berdiri sebagai mercusuar tradisi Gereja Katolik melawan liberalisme yang menggerogoti Gereja. Walau di Indonesia sendiri nama SSPX secara umum tidak dikenal, ada entitas SSPX yang membuka misi di Indonesia sejak Oktober 2003. Setidaknya demikian menurut paparan berita SSPX Asia.

Setelah mendapat gambaran sedikit tentang SSPX yang ditampilkan oleh berbagai media massa, sebuah pertanyaan besar harus kita jawab. Apakah informasi yang disampaikan akurat? Apakah sebenarnya SSPX dan apa tanggapan Gereja terhadap SSPX? Artikel pendek ini hendak memberi sumbangsih untuk menjelaskan duduk perkara tentang SSPX. Benar bahwa Gereja melihat ada masalah-masalah besar seputar keberadaan SSPX dan tidak memberi lampu hijau. Gereja dengan hati-hati memperingatkan umat untuk menjaga jarak dari SSPX. Namun alasannya harus kita pahami dengan benar dan jelas. Untuk itu kita perlu mengenal dahulu secara lebih dekat sejarah berdirinya SSPX.

Latar Belakang Berdirinya SSPX

Serikat St. Pius X didirikan pada masa-masa sulit yang dihadapi Gereja setelah berakhirnya Konsili Vatikan II (tahun 1962-1965). Implementasi hasil Konsili menciptakan iklim perubahan yang begitu cepat dan membingungkan bagi banyak umat Katolik. Dalam situasi ini, berdirilah sosok Uskup Agung Marcel Lefebvre, seorang Perancis. Beliau banyak berkarya di Afrika dan pernah menjabat menjadi Superior Jendral Kongregasi Roh Kudus (biasa dikenal sebagai Spiritans) pada tahun 1962-1968.

Pada tahun 1970 beliau mendirikan serikat religius di Econe, Swiss dengan meminta izin dari Mgr. Francois Charriere, Uskup Lausanne, Genewa dan Fribourg. Tujuannya adalah untuk mendidik para seminaris dengan ajaran-ajaran Gereja yang konservatif, sebab menurut pengamatan Mgr. Lefebvre seminari-seminari Katolik setelah Konsili Vatikan II sudah menjadi sangat liberal. Mgr. Charriere menerima maksud baik Mgr. Lefebvre dan memberikan izin pendirian dengan status masa percobaan selama enam tahun.

Tantangan-tantangan yang dihadapi Gereja setelah Konsili ternyata memang tidak mudah. Seminari-seminari di Perancis sedikit demi sedikit menjadi kosong; simbol-simbol tradisional Katolik banyak ditinggalkan; sikap antiklerus berkembang. Mgr. Lefebvre melihat berbagai inovasi liturgi dan memutuskan mendidik para seminarisnya untuk menggunakan Misa Tridentine secara eksklusif. Dapat dipahami, bahwa hal ini tidak sejalan dengan arah pastoral para uskup Perancis. Serikat yang didirikan Mgr. Lefebvre mulai menerima serangan terbuka dari hirarki Perancis. Pada tahun 1973 seminari baru didirikan di Michigan, Amerika Serikat, dan pada tahun 1974 didirikan seminari baru di Roma, Italia.

Karena perseteruan yang terus berkembang antara para uskup Eropa dengan Mgr. Lefebvre, maka pada tahun 1974 Paus Paulus VI membentuk komisi para kardinal untuk menilai situasi ini. Dua imam dari Belgia diutus untuk melakukan kunjungan. Namun demikian, sewaktu di Econe, kedua imam ini menyatakan pendapat yang menurut penilaian para seminaris dan staf seminari merupakan opini teologis yang terlalu liberal. Mgr. Lefebvre kemudian menuliskan sebuah deklarasi yang menyerang secara kuat apa yang menurutnya adalah tendensi liberal dalam Gereja Katolik, bahkan ia menyerang dan mempertanyakan otoritas paus dan Konsili Vatikan II.

Deklarasi yang dinyatakan Mgr. Lefebvre menjadi kemelut yang berlanjut. Pada bulan Pebruari dan Maret 1975 Mgr. Lefebvre dipanggil oleh para kardinal untuk datang ke Vatikan dan memberi pertanggungjawaban atas deklarasinya. Pada bulan Mei 1975, setelah melalui konsultasi dengan Takhta Suci, Mgr. Pierre Maime, Uskup Fribourg, mencabut izin yang diberikan pendahulunya atas berdirinya SSPX dan seminari-seminari mereka. Hal ini dikuatkan dengan surat yang dikirimkan Takhta Suci dengan persetujuan Paus Paulus VI mengenai dicabutnya izin yuridis SSPX. Dengan demikian, secara yuridis SSPX tidak lagi diakui sebagai sebuah organisasi Katolik.

Mgr. Lefebvre tidak menggubris pencabutan izin berdirinya SSPX dan pada tahun 1976 angkatan pertama seminari SSPX di Econe siap untuk ditahbiskan. Walaupun secara yuridis SSPX tidak lagi eksis, Mgr. Lefebvre menyatakan secara publik niatnya untuk mentahbiskan para seminaris tersebut sebagai anggota SSPX. Takhta Suci segera menanggapi dengan mandat langsung dari Paus Paulus VI agar pentahbisan tidak dilakukan. Alasannya jelas, bahwa para calon penerima tahbisan berada di bawah otoritas uskup mereka masing-masing, dan seorang uskup yang mentahbiskan seseorang yang berada di bawah otoritas uskup lain, menurut Hukum Kanon yang berlaku, menerima sanksi untuk tidak lagi memiliki otoritas mentahbiskan selama satu tahun, dan sanksi ini hanya dapat dicabut oleh Takhta Suci. Mereka yang ditahbiskan, tidak memperoleh otoritas untuk melaksanakan jabatan mereka.

Pada tanggal 29 Juni 1976, pentahbisan dilakukan bertentangan dengan mandat Paus. Seminggu kemudian, Kardinal Sebastiano Baggio, Prefek Kongregasi Kepausan untuk Uskup, memberikan peringatan agar Mgr. Lefebvre meminta pengampunan Paus. Jawaban yang diberikan Mgr. Lefebvre adalah penegasan kembali penolakannya terhadap Konsili Vatikan II, yang menurut pendapatnya menghancurkan Gereja, dan tuduhan bahwa Paus Paulus VI bersekongkol dengan para pejabat Gereja. Dengan ini, Mgr. Lefebvre terkena hukuman suspensi ad divinis, yang berarti Mgr. Lefebvre secara hukum tidak dapat melaksanakan fungsi jabatannya, termasuk merayakan sakramen apa pun.

Karena hanya uskup yang dapat mentahbiskan, maka untuk menjamin kelangsungan SSPX, Mgr. Lefebvre—yang tidak dapat mempercayai uskup yang berada di luar SSPX—menyatakan rencananya untuk mentahbiskan uskup bagi SSPX pada tahun 1987. Pentahbisan uskup membutuhkan pernyataan persetujuan dari Paus. Korespondensi antara Takhta Suci dan Mgr. Lefebvre terus berlangsung. Tanggal 5 Mei 1988, Mgr. Lefebvre dan Kardinal Ratzinger menandatangani protokol persetujuan yang akan menormalkan keberadaan SSPX dalam Gereja dan bahwa Paus Yohanes Paulus II akan memilih seorang dari SSPX untuk ditahbiskan sebagai uskup. Namun, segera setelah persetujuan ditandatangani, Mgr. Lefebvre berubah pikiran. Ia menuntut tiga uskup ditahbiskan pada tanggal 30 Juni 1987. Beliau menerima peringatan dan membalas bahwa walaupun tanpa persetujuan Paus pentahbisan akan tetap ia laksanakan.

Tanggal 9 Juni 1987, Paus mengirimkan surat yang menghimbau agar Mgr. Lefebvre tidak melanjutkan niatnya dan mengingatkan bahwa mentahbiskan tanpa persetujuan paus adalah tindakan skismatis. Tanggal 30 Juni 1988, Mgr. Lefebvre melaksanakan tahbisan uskup kepada empat orang imam SSPX (Bernard Fellay, Bernard Tissier de Mallerais, Richard Williamson, dan Alfonso de Galarreta) melawan kehendak eksplisit Paus Yohanes Paulus II. Sesuai dengan Hukum Kanon, mereka yang menerimakan dan yang menerima tahbisan uskup tanpa mandat terkena sanksi ekskomunikasi. Tanggal 2 Juli 1998, Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan surat apostolik Ecclesia Dei adflicta dan menyatakan bahwa tahbisan yang dilakukan merupakan tindakan skismatik dan semua uskup yang terlibat, yang menerimakan maupun yang menerima tahbisan, secara resmi di-ekskomunikasi. Paus menghimbau agar mereka melakukan rekonsiliasi dengan Gereja.

Kelanjutan SSPX Sekarang Ini

Walaupun banyak hal terjadi, SSPX tetap ada dan melebarkan sayapnya, mendirikan seminari baru, menambah paroki, merekrut calon-calon seminaris. Bagi SSPX, ekskomunikasi yang dibebankan pada mereka tidak sah dan tidak pernah terjadi. Mereka menyatakan bahwa mereka tidak melakukan suatu tindakan skismatis. Mereka menganggap diri mereka merupakan bagian terhormat dari Gereja Katolik karena mereka mengingat paus dalam doa dan liturgi mereka serta menyatakan hormat dan tunduk kepada otoritas paus. Namun, pada saat yang bersamaan mereka menyatakan bahwa SSPX adalah mercusuar kebenaran Katolik dan Magisterium Gereja telah murtad.

Bagi SSPX, posisi mereka adalah suatu bentuk kebutuhan, seperti sebuah sekoci untuk menyelamatkan Gereja dari hal-hal yang menurut pendapat mereka merupakan kesesatan yang sekarang tumbuh dalam Gereja. Misalnya: gerakan ekumenisme, kebebasan beragama, kolegialitas hirarki, dan ritus liturgi yang baru. Mgr. Lefebvre meninggal pada tahun 1991 di Martigny, Swiss. Kepemimpinan SSPX kemudian beralih kepada Uskup Bernard Fellay, salah satu dari empat uskup yang ditahbiskannya. Usaha-usaha rekonsiliasi masih terus diusahakan oleh Takhta Suci melalui komisi Ecclesia Dei.

Sementara itu, tidak semua anggota SSPX senantiasa setuju dengan posisi SSPX dan pendiri mereka. Segera setelah pentahbisan empat uskup SSPX yang bermasalah pada tahun 1988, sebagian dari para seminaris SSPX memisahkan diri dari organisasi Lefebvre. Mereka berekonsiliasi dengan Takhta Suci dan memperoleh persetujuan Takhta Suci untuk membentuk serikat religius baru, yang mereka namakan Fraternitas Sacerdotalis Sancti Petri. Pada tahun 2002, sebagian imam-imam SSPX yang vokal menyuarakan rekonsiliasi dengan Takhta Suci dikeluarkan dari organisasi, dan dengan restu Takhta Suci mendirikan serikat religius baru yang bernama Institut du Bon Pasteur. Secara personal ada juga para anggota SSPX yang memisahkan diri secara pribadi dan menjadi anggota serikat religius lain yang juga mempertahankan liturgi sebelum Konsili Vatikan II, namun dengan restu Takhta Suci.

Umat Katolik dan SSPX

Setelah kita mengetahui lebih baik tentang SSPX dan berbagai permasalahannya, bagaimana umat Katolik harus menanggapi SSPX? Dapatkah kita meminta pelayanan sakramen dari mereka? Bagaimana kalau mereka mengajak dan mendekati kita? Terlebih lagi dengan menjadikan Indonesia tanah misi mereka, kita bisa menduga mereka akan sedikit-banyak aktif dalam menerbitkan publikasi dan merekrut anggota baru.

Kita harus sedikit menggarisbawahi beberapa hal dari sejarah SSPX terlebih dahulu. Pertama, secara yuridis eksistensi SSPX dalam Gereja Katolik sudah berakhir sejak izin berdiri SSPX dicabut pada tahun 1975. Maka, walaupun secara nyata SSPX ada dan berfungsi, keberadaannya tidak memiliki landasan hukum. Kedua, para uskup SSPX terkena sanksi ekskomunikasi yang masih belum dicabut hingga saat ini. Dengan demikian mereka berada di luar Gereja Katolik dan tidak memiliki otoritas Gereja untuk melaksanakan tugas-tugas jabatan mereka, termasuk menyelenggarakan liturgi, sakramen, pemberkatan atau kedudukan apa pun dalam Gereja. Ketiga, imam-imam SSPX, walau tidak ikut terkena sanksi ekskomunikasi, terkena sanksi ad divinis, yang berarti mereka tidak memiliki otoritas Gereja untuk melaksanakan tugas-tigas jabatan mereka. Yang terakhir, akar pertentangan mereka terhadap Gereja bukan karena mereka ingin menggunakan liturgi sebelum Konsili, tetapi karena SSPX berpendapat bahwa Magisterium Gereja dan Paus telah sesat dan tidak dapat dipercaya. Satu-satunya jalan menjadi Katolik sejati, dalam pandangan SSPX, adalah dengan menerima iman Katolik sebagaimana dipahami oleh mereka.

Dari pertimbangan di atas, jawaban menjadi jelas. Umat Katolik sangat tidak dianjurkan berasosiasi dengan SSPX atau mengambil bagian dalam kegiatan SSPX. Sebab dengan mengambil bagian dalam kegiatan SSPX atau berpartisipasi dalam liturgi dan perayaan sakramen yang dilaksanakan oleh SSPX, kita mengambil bagian dalam liturgi yang tidak seharusnya mereka laksanakan, dan ini adalah suatu bentuk ketidaktaatan terhadap Gereja.

Hal kedua yang bisa kita pelajari dari SSPX adalah pentingnya persatuan, kesatuan, dan ketaatan terhadap Gereja. Komunitas/kelompok/organisasi dalam Gereja boleh memiliki kekhasan dan dalam perjalanannya seringkali harus melewati hambatan, tetapi kalaupun kita ingin memperjuangkan kekhasan tersebut, kita tidak dapat melakukannya sendirian, terpisah dari Gereja. Atau, bisa juga terjadi, kita berhadapan setiap hari dengan liturgi yang dilaksanakan serampangan dan kita tidak puas dengan hal-hal yang terjadi dalam Gereja, namun kita harus ingat untuk menyikapi dan mengoreksi dengan hati-hati, dalam persatuan dan ketaatan kepada Gereja.

Ada satu pelajaran lagi yang bisa kita petik: kita harus berusaha mengatasi perbedaan dengan kasih dan keterbukaan, namun teguh dalam prinsip. Gereja terus membuka dialog dan mengajak anggota-anggota SSPX kembali ke kawanan Gereja. Dialog terus dilakukan, doa terus dipanjatkan. Ini adalah sikap dasar yang harus kita kembangkan setiap hari dalam berhadapan dengan anggota keluarga, teman, atasan, dan orang lain di sekitar kita.